Ticker

6/recent/ticker-posts

Modul 1.4 Budaya Positif


Sekolah merupakan institusi pembentukan karakter. Oleh karena itu, budaya positif perlu diciptakan agar dapat mendukung pembentukan karakter murid yang diharapkan. Budaya positif di sekolah ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis, penuh hormat dan bertanggung jawab. Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Budaya positif terdiri dari beberapa bagian yaitu.

2.1    Perubahan Paradigma -Stimulus Respon lawan  Teori Kontrol

Di bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:

§      Ilusi guru mengontrol murid.

Pada dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.

§       Ilusi bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.

Penguatan positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.

§    Ilusi bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter. Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.

§   Ilusi bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Banyak orang dewasa yang percaya bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang, dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.

2.2. Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku Manusia

Kata “disiplin” juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama sekali. Disiplin diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan universal. 

Tiga Motivasi Perilaku Manusia, yaitu :

Diane Gossen dalam bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi perilaku manusia:

1.       Untuk menghindari ketidaknyamanan atau hukuman

Ini adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka, bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut. 

2.       Untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. 

Satu tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan. 

3.    Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang  

      mereka percaya

Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal. 

2.3. Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan

Mengapa keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja? 

Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk ‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.  

Nilai-nilai keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’, yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu. Pembentukan Keyakinan Kelas:

  • Keyakinan kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan konkrit.
  • Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
  • Pernyataan keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
  • Keyakinan kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas.
  • Keyakinan kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan tersebut. 
  • Semua warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas lewat kegiatan curah pendapat.
  • Bersedia meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.

2.4. Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia

1. Kebutuhan Bertahan Hidup

2. Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk Diterima)

3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas Kemampuan)

4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)

5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)

2.5  Lima (5) Posisi Kontrol 

1.   Penghukum: Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:

“Patuhi aturan saya, atau awas!”

“Kamu selalu saja salah!”

“Selalu, pasti selalu yang terakhir selesai”

Guru seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa berhasil, yaitu cara dia.

2. Pembuat Orang Merasa Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang keluar dengan lembut akan seperti:

“Ibu sangat kecewa sekali dengan kamu”

“Berapa kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”

“Gimana coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”

 Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa  

 tidak  berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.

3.    Teman: Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:

  “Ayo bantulah, demi bapak ya?”

  “Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama ini?”

  “Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti Ibu bantu bereskan”.

Hal negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu maka murid      akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid merasa dikecewakan, dan        tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul adalah murid hanya akan bertindak untuk    guru tertentu, dan tidak untuk guru lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.

4.    Monitor/Pemantau: Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi, kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:

“Peraturannya apa?”

“Apa yang telah kamu lakukan?”

“Sanksi atau konsekuensinya apa?”

Seorang pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon, yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.

5.    Manajer: Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:

“Apa yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)

“Apakah kamu meyakininya?”

“Jika kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?” “Jika kamu memperbaiki ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”

“Apa rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”

Tugas seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik dan kuat.

 2.6 - Segitiga Restitusi

Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).Adapun peran seorang guru dalam menanamkan budaya positif dalam hubungannya dengan filosofi pendidikan nasional KHD, nilai dan peran guru penggerak, dan visi guru penggerak. antara lain:

    Mengoptimalkan peran guru dan semua stakeholder sekolah dengan melaksanakan tugas dengan baik, bekerja dengan senang hati, dan penuh semangat serta mengedepankan kerjasama dan gotong royong.

     Memberi contoh teladan yang baik

Hal yang menjadi pokok persoalan, untuk mengajak seseorang berbuat baik, maka orang tersebut harus sudah “baik” terlebih dahulu. Berawal dari keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan, semoga kemudian diikuti oleh peserta didik.

     Menanamkan nilai-nilai karakter. Kegiatan menanamkan nilai-nilai karakter terutama di sekolah perlu dilakukan untuk membiasakan diri peserta didik. Integrasi nilai-nilai karakter ini dapat dilakukan melalui pembelajaran di kelas, melakukan kegiatan rutin sekolah, melibatkan siswa dalam menjaga kebersihan, menuliskan slogan-glogan dan poster yang bermanfaat, melibatkan siswa dalam petugas upacara, dan lain-lain.

     Menciptakan daya dukung yang optimal. Untuk menciptakan budaya sekolah perlunya daya dukung yang memadai. Daya dukung tersebut, baik yang berkenaan dengan fasilitas dan sarana prasarana sekolah, daya dukung dari pihak internal maupun eksternal sekolah. Tanpa daya dukung yang memadai, maka akan menyebabkan munculnya persoalan. Misalnya, siswa diajarkan menjaga kebersihan. Namun ketika jumlah tempat sampah kurang memadai, maka siswa akan memilih mencari tempat sampah atau membuang di sembarang tempat. Demikian halnya ketika siswa diajarkan untuk disiplin dan tidak datang terlambat, maka strateginya dapat dilakukan dengan melakukan program 5S, dimana kepala sekolah, pendidik, serta karyawan siap datang lebih awal dan menyambut kedatangan siswa di pintu gerbang.


Posting Komentar

0 Komentar