Sekolah merupakan institusi pembentukan
karakter. Oleh karena itu, budaya positif perlu diciptakan agar dapat mendukung
pembentukan karakter murid yang diharapkan. Budaya positif di sekolah
ialah nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan di sekolah yang
berpihak pada murid agar murid dapat berkembang menjadi pribadi yang kritis,
penuh hormat dan bertanggung jawab. Untuk membangun budaya yang positif,
sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman agar
murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri,
dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah
bentuk disiplin yang dijalankan selama ini di sekolah-sekolah kita. Budaya positif terdiri dari beberapa
bagian yaitu.
2.1 Perubahan
Paradigma -Stimulus Respon lawan Teori Kontrol
Di
bawah ini adalah paparan Dr. William Glasser dalam Control Theory, untuk
meluruskan berapa miskonsepsi tentang kontrol:
§ Ilusi
guru mengontrol murid.
Pada
dasarnya kita tidak dapat memaksa murid untuk berbuat sesuatu jikalau murid
tersebut memilih untuk tidak melakukannya. Walaupun tampaknya kita sedang
mengontrol perilaku murid tersebut, hal ini karena murid tersebut sedang
mengizinkan dirinya dikontrol. Saat itu bentuk kontrol guru menjadi kebutuhan
dasar yang dipilih murid tersebut. Teori Kontrol menyatakan bahwa semua
perilaku memiliki tujuan, bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai.
§ Ilusi
bahwa semua penguatan positif efektif dan bermanfaat.
Penguatan
positif atau bujukan adalah bentuk-bentuk kontrol. Segala usaha untuk
mempengaruhi murid agar mengulangi suatu perilaku tertentu, adalah suatu usaha
untuk mengontrol murid tersebut. Dalam jangka waktu tertentu, kemungkinan murid
tersebut akan menyadarinya dan mencoba untuk menolak bujukan kita, atau bisa
jadi murid tersebut menjadi tergantung pada pendapat sang guru untuk berusaha.
§ Ilusi
bahwa kritik dan membuat orang merasa bersalah dapat menguatkan karakter.
Menggunakan kritik dan rasa bersalah untuk mengontrol murid menuju pada
identitas gagal. Mereka belajar untuk merasa buruk tentang diri mereka. Mereka
mengembangkan dialog diri yang negatif. Kadang kala sulit bagi guru untuk
mengidentifikasi bahwa mereka melakukan perilaku ini, karena seringkali guru
cukup menggunakan suara halus untuk menyampaikan pesan negatif.
§ Ilusi
bahwa orang dewasa memiliki hak untuk memaksa. Banyak orang dewasa yang percaya
bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk membuat murid-murid berbuat hal-hal
tertentu. Apapun yang dilakukan dapat diterima, selama ada sebuah kemajuan
berdasarkan sebuah pengukuran kinerja. Pada saat itu pula, orang dewasa akan
menyadari bahwa perilaku memaksa tidak akan efektif untuk jangka waktu panjang,
dan sebuah hubungan permusuhan akan terbentuk.
2.2.
Arti Disiplin dan 3 Motivasi Perilaku Manusia
Kata “disiplin”
juga sering dihubungkan dengan hukuman, padahal itu sungguh berbeda, karena
belajar tentang disiplin positif tidak harus dengan memberi hukuman, justru itu
adalah salah satu alternatif terakhir dan kalau perlu tidak digunakan sama
sekali. Disiplin
diri berarti mereka bisa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya
karena mereka mendasarkan tindakan mereka pada nilai-nilai kebajikan
universal.
Tiga Motivasi Perilaku Manusia, yaitu :
Diane Gossen dalam
bukunya Restructuring School Discipline, menyatakan ada 3 alasan motivasi
perilaku manusia:
1. Untuk menghindari ketidaknyamanan atau
hukuman
Ini
adalah tingkat terendah dari motivasi perilaku manusia. Biasanya orang yang
motivasi perilakunya untuk menghindari hukuman atau ketidaknyamanan, akan
bertanya, apa yang akan terjadi apabila saya tidak melakukannya? Sebenarnya
mereka sedang menghindari permasalahan yang mungkin muncul dan berpengaruh pada
mereka secara fisik, psikologis, maupun tidak terpenuhinya kebutuhan mereka,
bila mereka tidak melakukan tindakan tersebut.
2. Untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain.
Satu
tingkat di atas motivasi yang pertama, disini orang berperilaku untuk
mendapatkan imbalan atau penghargaan dari orang lain. Orang dengan motivasi ini
akan bertanya, apa yang akan saya dapatkan apabila saya melakukannya? Mereka
melakukan sebuah tindakan untuk mendapatkan pujian dari orang lain yang menurut
mereka penting dan mereka letakkan dalam dunia berkualitas mereka. Mereka juga
melakukan sesuatu untuk mendapatkan hadiah, pengakuan, atau imbalan.
3. Untuk menjadi orang yang mereka inginkan dan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang
mereka percaya
Orang dengan motivasi ini akan bertanya, akan menjadi orang yang seperti apa bila saya melakukannya?. Mereka melakukan sesuatu karena nilai-nilai yang mereka yakini dan hargai, dan mereka melakukannya karena mereka ingin menjadi orang yang melakukan nilai-nilai yang mereka yakini tersebut. Ini adalah motivasi yang akan membuat seseorang memiliki disiplin positif karena motivasi berperilakunya bersifat internal, bukan eksternal.
2.3.
Keyakinan Kelas, Hukuman dan Penghargaan
Mengapa
keyakinan kelas, mengapa tidak peraturan kelas saja?
Pertanyaan berikut
adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan tentang penggunaan helm pada saat
mengendarai kendaraan roda dua/motor?” Kemungkinan jawaban Anda adalah untuk
‘keselamatan’. Pertanyaan berikut adalah, “Mengapa kita memiliki peraturan
tentang penggunaan masker dan mencuci tangan setiap saat?” Mungkin jawaban Anda
adalah “untuk kesehatan dan/atau keselamatan”.
Nilai-nilai
keselamatan atau kesehatan inilah yang kita sebut sebagai suatu ‘keyakinan’,
yaitu nilai-nilai kebajikan atau prinsip-prinsip universal yang disepakati
bersama secara universal, lepas dari latar belakang suku, negara, bahasa maupun
agama. Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang
dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan
bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada hanya sekedar mengikuti
serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian, mereka perlu mendengarkan dan
mendalami tentang suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan
peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu. Pembentukan Keyakinan Kelas:
- Keyakinan
kelas bersifat lebih ‘abstrak’ daripada peraturan, yang lebih rinci dan
konkrit.
- Keyakinan
kelas berupa pernyataan-pernyataan universal.
- Pernyataan
keyakinan kelas senantiasa dibuat dalam bentuk positif.
- Keyakinan
kelas hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga mudah diingat dan dipahami
oleh semua warga kelas.
- Keyakinan
kelas sebaiknya sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan
tersebut.
- Semua
warga kelas hendaknya ikut berkontribusi dalam pembuatan keyakinan kelas
lewat kegiatan curah pendapat.
- Bersedia
meninjau kembali keyakinan kelas dari waktu ke waktu.
2.4.
Lima (5) Kebutuhan Dasar Manusia
1. Kebutuhan Bertahan Hidup
2. Cinta dan kasih sayang (Kebutuhan untuk
Diterima)
3. Penguasaan (Kebutuhan Pengakuan atas
Kemampuan)
4. Kebebasan (Kebutuhan Akan Pilihan)
5. Kesenangan (Kebutuhan untuk merasa senang)
2.5
Lima (5) Posisi Kontrol
1. Penghukum:
Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang
yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah
memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan murid-murid lebih dalam
lagi. Guru-guru yang menerapkan posisi penghukum akan berkata:
“Patuhi
aturan saya, atau awas!”
“Kamu
selalu saja salah!”
“Selalu,
pasti selalu yang terakhir selesai”
Guru
seperti ini senantiasa percaya hanya ada satu cara agar pembelajaran bisa
berhasil, yaitu cara dia.
2. Pembuat Orang Merasa
Bersalah: pada posisi ini biasanya guru akan bersuara lebih
lembut. Pembuat orang merasa bersalah akan menggunakan keheningan yang membuat
orang lain merasa tidak nyaman, bersalah, atau rendah diri. Kata-kata yang
keluar dengan lembut akan seperti:
“Ibu
sangat kecewa sekali dengan kamu”
“Berapa
kali Bapak harus memberitahu kamu ya?”
“Gimana
coba, kalau orang tua kamu tahu kamu berbuat begini?”
Di posisi ini murid akan memiliki penilaian diri yang buruk tentang diri mereka, murid merasa
tidak berharga, dan telah mengecewakan orang-orang disayanginya.
3. Teman:
Guru pada posisi ini tidak akan menyakiti murid, namun akan tetap berupaya
mengontrol murid melalui persuasi. Posisi teman pada guru bisa negatif ataupun
positif. Positif di sini berupa hubungan baik yang terjalin antara guru dan
murid. Guru di posisi teman menggunakan hubungan baik dan humor untuk
mempengaruhi seseorang. Mereka akan berkata:
“Ayo bantulah, demi bapak ya?”
“Ayo ingat tidak bantuan Bapak selama
ini?”
“Ya sudah kali ini tidak apa-apa. Nanti
Ibu bantu bereskan”.
Hal
negatif dari posisi teman adalah bila suatu saat guru tersebut tidak membantu
maka murid akan kecewa dan berkata, “Saya pikir bapak/Ibu teman saya”. Murid
merasa dikecewakan, dan tidak mau lagi berusaha, Hal lain yang mungkin timbul
adalah murid hanya akan bertindak untuk guru tertentu, dan tidak untuk guru
lainnya. Murid akan tergantung pada guru tersebut.
4. Monitor/Pemantau:
Memonitor berarti mengawasi. Pada saat kita mengawasi, kita bertanggung jawab
atas perilaku orang-orang yang kita awasi. Posisi pemantau berdasarkan pada
peraturan-peraturan dan konsekuensi. Dengan menggunakan sanksi/konsekuensi,
kita dapat memisahkan hubungan pribadi kita dengan murid, sebagai seseorang
yang menjalankan posisi pemantau. Pertanyaan yang diajukan seorang pemantau:
“Peraturannya
apa?”
“Apa
yang telah kamu lakukan?”
“Sanksi
atau konsekuensinya apa?”
Seorang
pemantau sangat mengandalkan penghitungan, catatan, data yang dapat digunakan
sebagai bukti atas perilaku seseorang. Posisi ini akan menggunakan stiker, slip
catatan, daftar cek. Posisi monitor sendiri berawal dari teori stimulus-respon,
yang menunjukkan tanggung jawab guru dalam mengontrol murid.
5. Manajer:
Posisi terakhir, Manajer, adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu
bersama dengan murid, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya,
mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri.
Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau,
dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi
tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan murid-murid kita menjadi
manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu
kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya
sendiri. Di manajer, murid diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun
kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat
konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki
kesalahan yang ada. Seorang manajer akan berkata:
“Apa
yang kita yakini?” (kembali ke keyakinan kelas)
“Apakah
kamu meyakininya?”
“Jika
kamu menyakininya, apakah kamu bersedia memperbaikinya?” “Jika kamu memperbaiki
ini, hal ini menunjukkan apa tentang dirimu?”
“Apa
rencana kamu untuk memperbaiki hal ini?”
Tugas
seorang manajer bukan untuk mengatur perilaku seseorang. Kita membimbing murid
untuk dapat mengatur dirinya. Seorang manajer bukannya memisahkan murid dari
kelompoknya, tapi mengembalikan murid tersebut ke kelompoknya dengan lebih baik
dan kuat.
2.6 - Segitiga Restitusi
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).Adapun peran seorang guru dalam menanamkan budaya positif dalam hubungannya dengan filosofi pendidikan nasional KHD, nilai dan peran guru penggerak, dan visi guru penggerak. antara lain:
Mengoptimalkan peran guru dan semua stakeholder sekolah dengan melaksanakan tugas dengan baik, bekerja dengan senang hati, dan penuh semangat serta mengedepankan kerjasama dan gotong royong.
Memberi contoh teladan yang baik
Hal yang menjadi pokok persoalan, untuk mengajak seseorang berbuat baik, maka orang tersebut harus sudah “baik” terlebih dahulu. Berawal dari keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan, semoga kemudian diikuti oleh peserta didik.
Menanamkan nilai-nilai karakter. Kegiatan menanamkan nilai-nilai karakter terutama di sekolah perlu dilakukan untuk membiasakan diri peserta didik. Integrasi nilai-nilai karakter ini dapat dilakukan melalui pembelajaran di kelas, melakukan kegiatan rutin sekolah, melibatkan siswa dalam menjaga kebersihan, menuliskan slogan-glogan dan poster yang bermanfaat, melibatkan siswa dalam petugas upacara, dan lain-lain.
Menciptakan daya dukung yang optimal. Untuk menciptakan budaya sekolah perlunya daya dukung yang memadai. Daya dukung tersebut, baik yang berkenaan dengan fasilitas dan sarana prasarana sekolah, daya dukung dari pihak internal maupun eksternal sekolah. Tanpa daya dukung yang memadai, maka akan menyebabkan munculnya persoalan. Misalnya, siswa diajarkan menjaga kebersihan. Namun ketika jumlah tempat sampah kurang memadai, maka siswa akan memilih mencari tempat sampah atau membuang di sembarang tempat. Demikian halnya ketika siswa diajarkan untuk disiplin dan tidak datang terlambat, maka strateginya dapat dilakukan dengan melakukan program 5S, dimana kepala sekolah, pendidik, serta karyawan siap datang lebih awal dan menyambut kedatangan siswa di pintu gerbang.
0 Komentar